Aturan Pelepasan Varietas Perlu Penyederhanaan

msu3

Aturan Pelepasan Varietas Perlu Penyederhanaan

Persyaratan benih dapat diedarkan adalah varietasnya telah dilepas (release). Untuk pelepasan varietas calon varietas harus melalui uji multi lokasi terlebih dahulu. Untuk tanaman pangan uji multi lokasi ini menurut aturan yang berlaku harus dilakukan di delapan lokasi pada dua musim yang berbeda (Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1999).  Pemulia biasanya melakukan uji multi lokasi dengan jumlah lokasi lebih dari delapan untuk mengantisipasi ada lokasi yang gagal akibat hama/penyakit atau bencana alam atau gangguan lainnya.  Selain perlu waktu yang lama, biayanya juga akan sangat mahal.  Biaya yang mahal selain untuk pelaksanaan pengujian juga biaya perjalanan dan akomodasinya.  Perusahaan benih kecil pasti merasakan hal tersebut sangat berat.

Demikian juga dengan pemulia di Perguruan Tinggi biasanya mengalami kesulitan saat calon varietasnya memasuki tahap uji multi lokasi karena di Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) tidak ada skema pembiayaan untuk kegiatan tersebut.  Berbeda dengan yang terjadi pada komoditas hortikultura.  Untuk tanaman hortikultura uji multi lokasi ini sudah lebih disederhanakan, cukup di tiga lokasi saja (UU No 13 tahun 2010, Permentan No 38 tahun 2011).  Hortikultura lebih advance dan lebih cepat dalam merespon perubahan untuk kemajuan. Tanaman pangan lebih memilih konservatif. Padahal dilihat dari histori perkembangan perbenihannya hortikultura tergolong lebih muda dibandingkan tanaman pangan.  Patut kita beri apresiasi untuk hortikultura.

Mengapa uji multi lokasi harus di delapan lokasi?  Dimungkinkan semangatnya supaya varietas yang dilepas menjadi varietas nasional.  Artinya varietas tersebut supaya dapat diterima oleh petani secara nasional.  Mengapa harus menjadi varietas nasional?  Dimungkinkan tujuannya supaya produksi benihnya lebih mudah.  Industri benih tidak perlu melakukan pembersihan mesin-mesin pengolahan setiap saat karena varietasnya sama.  Bisa dibayangkan kalau varietas yang diproduksi banyak maka setiap kali pergantian varietas yang akan masuk ke pabrik pengolahan benih harus diawali dengan pembersihan mesin-mesin pengolahan supaya tidak ada benih yang diolah sebelumnya tidak ada yang tertinggal di dalam mesin dan menjadi kontaminan atau pencampur sehingga akan menurunkan kemurnian benih. Hal tersebut karena kita berfikir hanya ada satu industri benih untuk seluruh Indonesia.  Mustinya pola berfikir kita sekarang sudah tidak harus begitu lagi.  Faktanya produsen benih sudah bertumbuh dan berkembang di setiap daerah.  Kontribusi mereka terhadap penyediaan benih nasional juga sangat besar sekitar 80% dari penyediaan benih secara nasional.  Jadi para produsen benih di daerah di masa depan perlu diberi kesempatan yang lebih besar.

Di lapangan, banyak varietas tanaman disukai oleh petani hanya dalam selang waktu yang pendek. Uji multi lokasi yang memerlukan waktu lama dan biaya yang besar ini, tidak seimbang dengan life time nya.  Saran untuk waktu yang akan datang adalah uji varietas yang akan dilepas dapat difokuskan di satu lokasi (Provinsi) yang direncanakan menjadi lokasi pengembangannya.  Jika di lokasi pengujian tersebut keragaannya baik dan disukai petani, maka varietas tersebut dapat dilepas.  Jika daerah lain tertarik untuk mengembangkan varietas tersebut, maka dapat diuji coba untuk ditanam.  Kalau hasilnya baik di wilayah tersebut, maka varietas tersebut di lokasi tersebut juga dapat dikembangkan.  Secara perlahan varietas tersebut dapat menyebar dari daerah satu ke daerah yang lain dan akhirnya menjadi varietas nasional.  Waktunya cepat, biayanya murah dan langsung diadopsi oleh masyarakat petani.  Produksi benihnya dapat dilakukan oleh para produsen benih di setiap wilayah pengembangan. Tidak perlu oleh perusahaan besar.  Hal ini juga berarti akan memberdayakan produsen dan penangkar benih di daerah.  Selain itu hal tersebut sangat sejalan dengan era otonomi daerah dan berpotensi meningkatkan pendapatan asli daerah.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa varietas yang dilepas setelah melalui waktu pengujian yang lama dan biaya yang mahal ternyata varietas tersebut tidak diminati oleh petani.  Melalui cara yang disarankan tadi maka hal ini tidak akan terjadi.  Sementara ini faktanya banyak varietas, jumlahnya lebih dari tiga ratus varietas yang sudah dilepas hasil rakitan Badan Litbang di bawah lingkup Kementerian Pertanian dan Perguruan Tinggi, akan tetapi yang diadopsi dan berkembang di masyarakat petani jumlahnya tidak banyak, bisa dihitung jari.

Selama ini pelepasan varietas baru diarahkan kategorinya berdasarkan kepada perbedaan agroekologi.  Sehingga kategorinya menjadi varietas padi sawah, padi rawa, dan padi gogo atau berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude) sehingga kategorinya menjadi varietas padi dataran rendah, dataran medium, dan dataran tinggi.  Melalui pemikiran pelepasan varietas “Lokal Provinsi” maka seluruh kategori sebelumnya sudah tercakup sesuai dengan kondisi provinsinya.

Varietas padi yang dilepas berdasarkan kategori  agroekologi ataupun altitude belum mempertimbangkan selera dan budaya makan nasi masyarakat.  Pertimabngannya semata-mata hanya berdasarkan aspek lingkungan fisik tanah dan iklim.  Padahal beras atau nasi sangat erat kaitannya dengan kultur sosial budaya masyarakat. Varietas yang dirancang untuk agroekologi sawah ternyata di Sumatera Barat tidak diminati oleh petani karena masyarakat di Sumatera Barat tidak menyukai nasi yang teksturnya pulen.  Mereka maunya varietas yang nasinya pera. Di daerah lain bisa sebaliknya, varietas tekstur nasi pera dikembangkan padahal masyarakatnya menghendaki varietas yang tekstur nasinya pulen.  Pengembangan dan pelepasan varietas “Lokal Provinsi” akan mengatasi permasalahan tersebut.

Pemikiran pelepasan varietas “Lokal Provinsi” akan sangat sejalan dengan pemikiran penulis sebelumnya “Kabupaten Mandiri Benih”.  Varietas yang dilepas produksi benihnya dilakukan oleh produsen benih di daerah.  Skala produsen benih kabupaten merupakan  secara ekonomi feasible dan secara teknis manageable. Umumnya luas areal padi intensifikasi di wilayah kabupaten sekitar  50.000 hektar.  Kebutuhan benihnya sekitar 1.500 ton per musim tanam.  Skala demikian akan menjamin keberlangsungan usaha bagi produsen benih. Di daerah sekala seperti itu bisa terdiri dari beberapa produsen benih dan kemungkinan juga melibatkan para penengkar benih mitranya.  Oleh karena itu Aturan Pelepasan Varietas  Perlu Disederhanakan untuk mendukung pengembangan varietas “Lokal Provinsi”.

Oleh: Prof Dr Memen Surahman, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, PS. Ilmu dan Teknonologi Benih, Sekolah Pascasarjana IPB