BENIH ITU KECIL TAPI INDAH
BENIH ITU KECIL TAPI INDAH
BENIH ITU KECIL TAPI INDAH
oleh
Sjamsoe’oed Sadjad
Sebagai orang yang bertugas mengembangkan suatu ilmu, saya mulai dengan ajaran Bapak Guru Bahasa Indonesia saya di SMP puluhan tahun lalu, bahwa bahasa itu rasa. Tersimpan kata-kata itu sebagai dorongan untuk bisa membedakan bahasa dengan ilmu eksakta, karena bahasa lebih mendahulukan lubuk hati daripada ketajaman pikir. Namun, saya berusaha justru mencari sinergi keduanya dalam saya mengembangkan tugas saya sebagai pengajar di perguruan tinggi.
Di tengah keramaian pesta Tujuhbelasan jiwa nasionalisme saya bergelora tetapi kondisi fisik saya serasa tidak bisa mengimbangi sehingga saya memilih menyepi dalam rumah menurunkan rangkaian kata yang semoga bisa berakhir menjadi wujud tulisan yang bisa dibaca khalayak luas. Dalam usia yang sudah merangkak menuju angka berkepala sembilan begini memang bagaikan suatu pendakian gunung dibawah terik matahari tengah hari. Otak sudah terasa kosong tiada suatu tersimpan dari apa saja yang dibaca sehingga bagaikan seorang mahasiswa bodoh yang tidak mampu mengikuti kuliah dosennya. Sangat serasi rasanya ciptaan (?) seni instalasi yang saya hasilkan dengan modal biji kelapa dan matoa yang saya rangkai dengan barang bekas yang saya temui di rumah menjadi badannya yang saya tempeli berbagai corak potongan kain bekas sisa jahitan almarhumah isteri saya dan juga anak perempuan saya yang kebetulan gemar menjahit menjadi boneka-bonekan pajangan. Saya deretkan berdiri di atas meja, sehingga seluruh meja saya pandang sebagai sebuah lukisan. Berbeda dengan lukisan yang saya hasilkan sewaktu saya masih belum setua ini dan sebagian saya gantungkan di dinding untuk sehari-hari bisa saya nikmati, boneka-boneka berkepalakan biji kelapa dan matoa itu merupakan lukisan tiga dimensi, sedangkan lukisan cat minyak di atas kanvas yang bergantung di dinding itu berdimensi dua ialah panjang dan lebar. Lukisan berdimensi tiga harus bisa dirasakan keindahannya dari berbagai arah, sedangkan lukisan berdimensi dua hanya dari satu arah ialah dari depan lukisan. Lukisan tiga dimensi jauh lebih mudah dicipta, karena melukis muka orang sudah tinggal ambil biji buah. Allah telah menghadiahkan gambaran muka orang yang indah dengan mata, hidung dan mulut pada biji buah kelapa dan matoa itu.
Sebelum menjadi tua begini saya hidup menggeluti biji tumbuhan menjadi benih tanaman. Saat ini pun yang saya sudah lansia tingkat tinggi masih juga menggemari hidup dengan deretan biji buah kelapa dan buah matoa yang mudah-mudahan bisa menjadi lukisan yang saya namakan lukisan tiga dimensi. Dari kedua nalar itu lalu apa yang bisa disimpulkan benih kecil, tetapi ternyata indah. Keduanya biji tumbuhan yang melalui teknologi menjadi benih untuk ditanam menjadi berproduksi, dan untuk direka menjadi lukisan tiga dimensi. Keduanya mengandung harapan yang indah dan harapan itu tidak lain berarti kehidupan.
Bulan Agustus dalam kehidupan bangsa kita bisa saya pandang juga sebagai benih. Kecil juga kalau dibandingkan dengan betapa besar harapan bangsa kita ini. Betapa besar jumlah rakyat kita, betapa besar lahan yang kita miliki yang kita namakan Nusantara Indonesia dengan sumberdaya alam yang bagaikan tidak terbatas besarnya dalam bayangan kita, dengan sumberdaya maritim yang berupa selat sampai samudera sangat luas, pendek kata modal hidup bangsa ini bagaikan tak terbatas bernilainya. Di bulan Agustus ini lahir “benih merdeka”, yang tidak terasa sudah 71 kali kita tanam bersama-sama. Sebagai benih kecil tapi penuh dengan keindahan berupa harapan. Keindahan itu bisa terwujud asalkan modal yang tak ternilai besarnya itu bisa dikembangkan oleh kemahiran dan kemampuan daya pikir berteknologi dari yang sederhana sampai super canggih menjadi wujud kesejahteraan bersama seluruh bangsa ini.
Coba kita renungkan betapa indahnya, selembut benih di daerah tandus bisa tumbuh menjadi pohon raksasa yang hidup tumbuh subur sebagai pelindung manusia. Betapa besar hadiah Illahi semacam itu untuk bangsa kita ini yang harus bisa kita syukuri. Sebagai umat yang tahu berterima kasih, tidak layak kalau hanya tinggal berdiam diri, tapi seharusnya bisa menjadi makhluk yang terunggul yang mampu mengolahnya menjadi produk-produk hilir yang lebih berarti bagi harkat serta martabat seluruh bangsa ini. Semua hanya bisa dicapai dengan kerja keras melalui teknologi yang bisa dikuasai berkat hasil pendidikan, baik formal maupun non formal, baik ditingkat lokal, nasional maupun global.
Semua harus bergerak, semua warga seluruh bangsa ini harus bergerak, tangan, kaki, hati, pikiran, tidak ada yang berhenti diam. Semua yang kecil dan yang besar, karena berpegang pada apa yang dimiliki dan yang didapati itu suatu keindahan, indah karena ada harapan, dan ada harapan berarti serba ada kehidupan. Semua lalu menjadi dinamis. Dinamika yang diraih dari segalanya serba indah yang dipandang dan dirasakan, maka kita semua menjadi manusia progresif. Karena progres yang selalu ingin dicapai, maka kita menjadi bangsa yang tahunya hanya maju, tidak sedikitpun berfikir mundur. Karena selalu ada dinamika yang menghasilkan progres maka yang kecil pun indah.
Seperti masyarakat petani yang sampai saat ini masih digolongkan berpenghasilan kecil, tidak besar atau miskin, cobalah untuk tidak dipegang kecilnya saja tapi indahnya yang kecil itu yang dicari dinamikanya. Selalu menjadi pemikiran saya, bagaimana petani bisa dipolakan sebagai kelompok tani untuk bisa dikembangkan maju, menyerap dinamika teknologi canggih yang penuh keindahan. Seperti biji buah kelapa dan matoa yang saya jadikan boneka itu, sekecil gabah padi yang dijadikan benih oleh petani sawah, tetap mempunyai fungsi sebagai benih sebuah karya yang saya sebut dengan istilah lukisan. Lukisan bagi saya merupakan wujud rangkaian bentuk dan warna yang membangun keindahan. Bagi seorang yang melukis baru berhenti kalau keindahan lukisannya sudah dirasakan terwujud. Tidak peduli orang lain menganggap lukisannya indah atau tidak. Ukuran selesai belumnya tergantung pada bagaimana hatinya bicara. Meski saya tidak memiliki rasa sebagai seorang seniman, dan tidak menjadi hirauan saya apa hasil kerja saya indah atau tidak, saya hanya puas dengan apa yang sudah saya anggap selesai saya kerjakan. Dalam waktu satu jam pun lukisan tiga dimensi saya bisa selesai Disini barangkali apa yang saya katakan benih itu kecil tapi indah. Karena benih itu berarti harapan dan manusia baru berpisah dari harapan kalau manusia itu mati.
Dalam suasana Tujuhbelasan ini barangkali falsafah saya: benih itu kecil tapi indah sudah tepat saya tulis kembali dalam uraian bersifat suatu refleksi dari seorang lansia macam saya ini. Dari sekecil refleksi saya di tahun era SMP sampai guyonan saya:”umur tinggal hitungan jari” saat ini saya rasa patut saya harus berterima kasih kepada Guru-Guru saya yang mendorong saya menekuni dan memahami keilmuan dan keteknologian benda kecil yang bernama benih. Saya lahirkan suatu definisi untuk benih sebagai biji tumbuhan yang diupayakan manusia untuk bahan tanaman melalui ilmu dan teknologi sehingga benih tanaman menjadi komoditas komersial yang dihasilkan dari proses induatrial yang bersifat primitif sampai teknologi canggih. Dengan perpegang teguh pada pendirian sebagai seorang ilmuwan bahwa setiap sesuatu harus bisa diberi definisi tertentu, maka apa itu benih, apa itu biji, apa itu bibit, dalam ilmu tanaman masing-masing saya berikan definisi sendiri-sendiri. Biji saya definisikan sebagai bakal biji yang dibuahi, benih sebagai biji tumbuhan yang digunakan untuk pertanaman, sedangkan bibit ialah bahan tanaman yang bukan berbentuk biji. Dalam pengertian untuk benih, mereka pernah mengikuti kuliah saya, barangkali masih ingat apa yang saya sebut “Benitu”, tidak lain singkatan dari “benih itu” yang berisi lima buah definisi untuk benih, tiga buah falsafah benih, dua buah untuk diingat oleh produsen/pedagang benih dan satu terakhir bagi semua yang tahu apa benih, suatu peringatan:”benih itu bisa menipu”.
Mudah-mudahan tulisan saya ini bisa menjadi kenangan bagi mereka yang masih mengenal saya tepat pada bulan Agustus sebagai bulan besar bagi kita semua. Amiin.
Kampus IPB Darmaga, 17 Agustus 2016