Kebijakan yang luput dari upaya pencapaian swasembada kedelai

msu2

Kebijakan yang luput dari upaya pencapaian swasembada kedelai

Sudah lebih dari tiga windu kita berupaya mencapai swasembada kedelai, tapi belum ada tanda-tanda membuahkan hasil. Bahkan luas areal pertanaman kedelai menurun terus dari tahun ke tahun. Hal ini pertanda bahwa petani tidak berminat menanam kedelai. Mengapa demikian? Apa permasalahannya? Paling tidak ada tiga masalah utama kedelai yaitu 1) produktivitas kedelai rendah (1.3 ton/ha). 2)penyediaan benih sulit karena daya simpan benih singkat (3 bulan). Mutu benih cepat turun, permintaan benih tidak pasti, sehingga tidak menarik bagi produsen benih. 3) Tataniaga tidak jelas dan harga kedelai tidak menarik. Petani berkeyakinan akan mampu mengatasi masalah budidaya kedelai di lapang, asalkan kedelai yang dihasilkannya dijamin pasarnya dengan harga yang menguntungkan. Sementara ini program pemerintah lebih banyak membantu proses budidaya. Padahal yang diharapkan petani adalah jaminan pasar. Tetapi ketika berbicara pasar selalu dibenturkan dengan harga kedelai impor. Disparitas harga kedelai petani dengan kedelai impor mencapai Rp. 3600 per kilo gram. Sehingga HPP yang ditetapkan pemerintah pada kedelai tidak pernah dapat direalisasikan.

IPB mengajukan konsep lima langkah menuju swasembada kedelai. Kelima langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mendongkrak produktivitas kedelai melalui teknologi budidaya jenuh air (BJA) ke angka 2.5 ton per hektar, 2) Menyiapkan lahan pasang surut untuk budidaya kedelai BJA minimal 1 juta hektar, 3) Menyediakan benih dengan sistem JABALKEK (Jalinan Arus Benih Antar Lapang dalam Kawasan Estate Kedelai), 4) Menjamin pemasaran kedelai dengan harga jual yang menguntungkan petani, 5) Revitalisasi kelembagaan tataniaga kedelai yang pro petani.

Kementerian Pertanian menyambut baik pemikiran IPB tersebut dan direalisasikan dalam kegiatan “Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Teknologi Budidaya Jenuh Air” seluas 10.000 hektar di 6 provinsi pada tahun 2016 dan dilanjutkan pada tahun 2017 di 7 provinsi. Provitas kedelai meningkat secara rata-rata dari 1.3 ton per hektar menjadi 1.8 ton per hektar. Di beberapa daerah provitas kedelai dapat mencapai lebih dari 2.5 ton seperti di Jambi 3.3 ton, di Lalan(Musi Banyuasin) 2.6 ton, di Maliku (Kalteng) 2.7 ton, di SP8 (Kaltara) 3.1 ton. Produktivitas kedelai yang tinggi tersebut bisa dicapai jika SOP BJA diterapkan. Hanya sayangnya tidak banyak daerah dan petani yang dapat menerapkan SOP dengan baik terutama disebabkan lahannya kurang sesuai dengan kriteria BJA. Lahan yang ideal untuk pengembangan kedelai melalui BJA adalah lahan pasang surut yang secara alami dapat dijenuhi oleh air dari pasang surut air sungai. Kalau petani harus memompa air untuk menjenuhi lahannya, terlalu mahal biayanya dan tidak seimbang dengan penadapatan dari usahanya. Sehingga petani tidak melakukan upaya tersebut. Hasilnya produktivitasnya rendah.

Penyediaan lahan pasang surut untuk kedelai BJA hasil identifikasi tim IPB tahun 2016 telah diperoleh 350 ribu hektar lahan yang sesuai untuk penanaman kedelai. Sayangnya lahan yang sesuai tersebut berkompetisi penggunaannya dengan padi. Petani akan menanam padi jika lahannya sesuai. Petani baru akan merelakan lahannya untuk menanam kedelai manakala lahannya tidak sesuai untuk ditanami padi. Demikian juga yang terjadi saat pengembangan kedelai di lahan sawah non pasang surut dan lahan kering. Pada saat ada air cukup kedelai berkompetisi dengan padi, dan pada saat air terbatas kedelai berkompetisi dengan jagung. Pemerintah perlu membuat kebijakan zonase pewilayahan ketiga komoditas strategis kedelai, jagung, dan padi supaya tidak terjadi kompetisi. Selain penetapan zonase juga perlu ditetapkan pola tanamnya. Ketiga komoditas tersebut merupakan komoditas strategis politis yang harus ada dan mencukupi kebutuhan, tidak bisa diabaikan salah satu diantaranya. Agar petani mau menanam ketiga komoditas tersebut maka perlu ada jaminan kesetaraan pendapatan petani dari mengusahakan ketiga komoditas tersebut. Padi dan jagung tidak ada masalah lagi dengan harga dan pemasaran. Tetapi kedelai harus dibantu oleh pemerintah untuk jaminan harga dan pemasarannya. Pemerintah perlu membuat kebijakan subsidi harga output. Pemerintah membeli kedelai dengan harga keekonomian dan menjual kedelai ke pengrajin olahan kedelai dengan harga subsidi.

Penyediaan benih kedelai dengan sistem JABALKEK mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan benih kedelai yang dihasilkan tidak ada kepastian pasarnya. Di Jambi sistem penyediaan benih kedelai tidak lagi menerapkan JABALKEK tetapi sistem benih swadaya (save seed) dengan melakukan penyimpanan sebagian hasil panennya untuk digunakan sebagai benih tahun berikutnya. Benih disimpan dalam jerigen plastik dan baru dibuka ketika akan ditanam. Dengan cara demikian provinsi Jambi tidak menemui masalah dengan penyediaan benih kedelai. Provinsi lain tidak mau melakukan cara yang dilakukan oleh petani di Jambi karena dianggap menyalahi undang-undang bahwa benih yang diedarkan harus bersertifikat. Peredaran benih antar petani (farmer to farmer) dianggap melanggar undang-undang. Pemerintah perlu membuat kebijakan diskresi peraturan perbenihan kedelai. Kewajiban benih bersertifiat untuk kedelai harus bersifat optional bukan obligatory sehingga penyediaan benihnya tidak menemui kesulitan.

Setelah berupaya dengan sekuat tenaga petani menanam kedelai tibalah saatnya panen. Ternyata masalah petani kedelai belum selesai karena hasil panennya tidak ada yang menampung. Sekalinya ada yang mau membeli, harganya sangat murah. Di Musi Banyuasin tahun 2016 harga kedelai hanya Rp 3000 per kg. HPP kedelai tahun 2016 adalah Rp 7600. Tetapi pemerintah (melalui BULOG) tidak melakukan pembelian kedelai sesuai HPP dengan alasan BULOG mengalami kesulitan menjualnya ke pengguna kedelai disebabkan disparitas harga dengan kedelai impor terlalu besar. BULOG tidak lagi menjadi lembaga stabilisasi harga, tetapi BULOG sudah berubah menjadi lembaga komersial. Ke depan perlu dilakukan revitalisasi kelembagaan BULOG untuk menjamin pasar komoditas strategis seperti padi, jagung, dan kedelai. Tapi nampaknya upaya ke arah sana selalu menemui jalan buntu. Selain itu kedudukan BULOG perlu direposisi, ke depan BULOG sebaiknya langsung di bawah presiden sebagai lembaga logistik negara sesuai dengan namanya yaitu Badan Urusan Logistik untuk mengamankan pangan negara.

Dalam upaya pencapaian swasembada kedelai yang selama ini telah dilakukan pemerintah selama tiga windu berjalan sepertinya ada kebijakan pemerintah yang luput. Berdasarkan analisis fakta dan permasalahan di atas dan pengalaman dari perjalanan mengawal kegiatan Peningkatan Produksi Kedelai di wilayah pasang suaurt selama dua tahun disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1) Pemerintah perlu membuat kebijakan zonase kedelai dan penetapan pola tanamnya. 2) Pemerintah perlu membuat kebijakan subsidi harga output untuk menjamin pasar dan pendapatan petani kedelai. 3) Pemerintah perlu mengembalikan tupoksi BULOG sebagai lembaga penjamin pasar dan stabilisasi harga serta BULOG harus berkedudukan langsung di bawah presiden. 4) Pemerintah perlu membuat kebijakan diskresi peraturan perbenihan kedelai terkait kewajiban sertifikasi. 5) Pemerintah perlu membuat kebijakan bahwa hak impor kedelai hanya diberikan kepada BULOG.

Oleh: Memen Surahman, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, PS. Ilmu dan Teknonologi Benih, Sekolah Pascasarjana IPB